{hinduloka} $title={Daftar Isi} Prosesi Upacara Melaspas Bangunan Bali

Upakara Melaspas adalah upacara penyucian dan pembersihan bangunan baru atau yang baru selesai direnovasi dalam agama Hindu di Bali. Secara umum, urutannya dapat digambarkan sebagai berikut, meskipun detailnya bisa berbeda tergantung tingkatan upacara (Kanista, Madya, atau Utama) dan jenis bangunannya.

Secara umum, rangkaiannya meliputi:

1. Mecaru (Penyucian Awal)

Sebelum upacara Melaspas inti dimulai, biasanya didahului dengan upacara Mecaru. Tujuannya adalah untuk membersihkan areal secara niskala (tidak kasat mata) dan menyeimbangkan energi negatif (Bhuta Kala) yang mungkin mendiami lokasi bangunan.

  • Nedunang Bhutakala: Mengundang sang Bhuta Kala.

  • Menghaturkan Labaan: Memberikan persembahan (labaan) kepada Bhuta Kala.

  • Mengembalikan roh-roh pengganggu: Mengembalikan roh-roh yang tadinya tinggal di bangunan tersebut ke tempat asalnya.

  • Menghadirkan Dewa Ghana: Diharapkan dapat menghalangi hadirnya roh-roh pengganggu.


2. Rangkaian Upacara Melaspas Inti

Setelah mecaru, dilanjutkan dengan rangkaian upacara Melaspas:

  1. Mengucapkan Orti pada Mudra Bangunan: Menyampaikan permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang melambangkan komunikasi dalam pemelaspasan.

  2. Memasang Ulap-Ulap: Memasang kertas bertuliskan rajahan (huruf suci) pada bangunan, disesuaikan dengan jenis bangunannya.

  3. Mendem Pedagingan (Jika bangunan suci/palinggih): Bila yang dipelaspas adalah tempat suci (palinggih), dilakukan penggalian lubang di dasar bangunan untuk menempatkan pedagingan (sesuatu yang ditanam di pondasi sebagai sarana penguatan spiritual).

  4. Pangurip-Urip: Menggoreskan arang bunga pada tiap-tiap bangunan sebagai simbol Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara), yang melambangkan pemberian daya hidup pada bangunan.

  5. Ngayaban Banten Ayaban dan Pras Pamelaspas: Menghaturkan banten (sesajen) ayaban dan pras pamelaspas, biasanya diawali dengan memberikan sesajen pada Sanggah Surya (batang bambu menjulang tinggi).

  6. Ngayaban Caru Prabot: Menghaturkan caru prabot.

  7. Ngeteg-Linggih (Khusus tempat suci/palinggih): Upacara penetapan dan penguatan status spiritual bagi tempat suci.

Prosesi ini dipimpin oleh Pemangku, atau sulinggih (pendeta) jika upacara dilakukan di pura atau pada tingkatan yang lebih besar.

Tingkatan Upacara

Perlu diingat, upacara Melaspas memiliki tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan, yaitu:

  • Kanista: Paling sederhana.

  • Madya: Sedang.

  • Utama: Besar atau paling lengkap.

Video YouTube ini menunjukkan prosesi upacara Melaspas Rumah yang memberikan gambaran visual dari salah satu rangkaian upacara tersebut.


Filosofi dan Makna Upakara Melaspas

Kata Melaspas berasal dari dua kata dalam bahasa Bali:

  1. Mlas (Pisah): Mengacu pada unsur-unsur material bangunan yang berbeda (kayu, tanah/batu, baja, semen, dll.).

  2. Pas (Cocok/Sesuai): Mengacu pada proses menyatukan dan menyelaraskan unsur-unsur berbeda tersebut hingga menjadi bangunan yang utuh dan layak/cocok untuk dihuni.

Secara filosofis, Melaspas adalah proses "menghidupkan" bangunan (maurip) dan menyucikannya. Tujuannya meliputi:

1. Penyucian Skala dan Niskala

  • Pembersihan Niskala (Tak Kasat Mata): Bangunan baru atau yang direnovasi dianggap masih "kotor" atau dihuni oleh roh-roh/energi negatif (Bhuta Kala) saat proses pembangunan. Upacara Mecaru (tahap awal) bertujuan membersihkan dan menyeimbangkan unsur-unsur negatif ini.

  • Pemberian Kekuatan Hidup: Melalui ritual seperti Pangurip-Urip (menggoreskan arang bunga), bangunan tersebut diberikan roh atau daya hidup yang melambangkan manifestasi Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara).

2. Menciptakan Keseimbangan dan Kedamaian

  • Upacara ini bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) agar bangunan yang ditempati senantiasa diberikan perlindungan, keselamatan, dan kerahayuan (kedamaian/kebahagiaan).

  • Diharapkan penghuni rumah dapat merasa aman, tenteram, dan betah, serta terhindar dari segala hal negatif (sakit, pertengkaran, atau kemalangan).

3. Mengintegrasikan Unsur Bhuana Agung dan Bhuana Alit

Upacara ini menghubungkan bangunan sebagai Bhuana Alit (dunia kecil/mikrokosmos) yang dibuat oleh manusia dengan Bhuana Agung (dunia besar/makrokosmos) agar terjadi keselarasan.

Dengan melaksanakan Melaspas, bangunan tersebut dianggap telah sah secara spiritual (agama) untuk ditempati dan akan membawa energi positif bagi penghuninya.

Berikutnya adalah membahas mengenai perlengkapan utama yang digunakan dalam Upakara Melaspas, yang biasa disebut Banten (Sesajen/Persembahan).


Kelengkapan Utama (Banten) Upakara Melaspas

Persiapan Banten untuk upacara Melaspas sangat bergantung pada tingkatan upacara yang dipilih (Kanista, Madya, atau Utama) dan jenis bangunannya (rumah tinggal, kantor, atau tempat suci/palinggih). Namun, secara umum banten yang terlibat terdiri dari dua kelompok besar:


1. Banten Mecaru (Penyucian Bhuta Kala)

Banten ini digunakan pada tahap awal untuk menyeimbangkan energi negatif (Bhuta Kala) di lokasi. Jenisnya bisa meliputi:

  • Caru Alit, Madya, atau Utama: Pilihan tergantung tingkatan upacara. Contoh Caru dapat berupa Caru Eka Sata (menggunakan seekor ayam) hingga Caru Panca Sata atau lebih besar.

  • Segehan: Sesajen kecil yang diletakkan di bawah (di tanah) yang berfungsi sebagai persembahan untuk Bhuta Kala agar tidak mengganggu jalannya upacara.

  • Labaan: Persembahan makanan dan minuman sebagai penolak bala (tolak bahaya) dan permohonan agar roh-roh kembali ke tempatnya.

2. Banten Melaspas Inti (Untuk permohonan kepada Dewa/Dewa-Dewi)

Banten ini berfokus pada penyucian, penguripan, dan permohonan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa:

  • Pejati dan Banten Sorohan: Perlengkapan pokok yang wajib ada sebagai persembahan bhakti (persembahan ketulusan).

  • Banten Ayaban dan Pras Pamelaspas: Sesajen yang dihaturkan saat prosesi inti Melaspas.

  • Banten Durmanggala dan Prayascita: Banten penyucian untuk menghilangkan segala mala (kekotoran) yang mungkin melekat pada bangunan.

  • Pangurip-Urip: Material yang digunakan untuk "menghidupkan" bangunan, seperti:

    • Rajahan (Ulap-Ulap): Kertas berisi tulisan aksara suci yang dipasang pada bangunan.

    • Arang Bunga: Digunakan untuk dioleskan pada bangunan sebagai simbol Tri Murti.

  • Sarana untuk Mendem Pedagingan (Jika Palinggih/Tempat Suci):

    • Bata Merah: Dirajah dengan simbol Bedawang Nala (kura-kura raksasa penyangga dunia).

    • Klungah Nyuh Gading: Kelapa gading muda.

    • Benda Logam (Emas/Perak): Khusus untuk bagian puncak palinggih (seperti Padma dari emas).

Singkatnya, Banten Mecaru membersihkan bagian bawah/luar, sementara Banten Melaspas Inti menyucikan dan menghidupkan bangunan secara spiritual dari dalam. Keseluruhan upacara ini memastikan keselarasan antara unsur alam dan spiritual demi keselamatan penghuni.

Baik, setelah membahas urutan prosesi, makna filosofis, dan kelengkapan sesajen, tahapan terakhir yang sangat krusial dalam Melaspas adalah penentuan waktu pelaksanaannya.


Penentuan Waktu (Dewasa Ayu)

Dalam tradisi Hindu Bali, pemilihan hari dan waktu pelaksanaan upacara harus berdasarkan perhitungan kalender Bali yang dikenal sebagai Ala Ayuning Dewasa (Hari Baik dan Buruk). Pemilihan waktu yang tepat (Dewasa Ayu) diyakini akan memastikan keberhasilan upacara dan mendatangkan keselamatan serta berkah bagi penghuni bangunan.


1. Pentingnya Ala Ayuning Dewasa

  • Dewasa Ayu (Hari Baik): Hari-hari yang diyakini membawa energi positif, kemuliaan, dan kelancaran untuk melaksanakan upacara tertentu, termasuk Melaspas.

  • Ala Dewasa (Hari Buruk): Hari-hari yang dihindari karena diyakini membawa energi negatif, hambatan, atau kemalangan. Contohnya seperti Geni Rawana atau Kala Upa yang seringkali tidak baik untuk Melaspas atau mengatapi rumah.


2. Kriteria Pemilihan Dewasa Ayu untuk Melaspas

Meskipun perhitungan detail dilakukan oleh Sulinggih (Pendeta) atau Pemangku yang ahli dalam wariga (ilmu perhitungan hari baik), beberapa kriteria umum yang dicari untuk upacara Melaspas (membangun, memakuh, dan menempati rumah baru) antara lain:

  • Amerta Dewasa: Hari yang membawa kemuliaan, kehidupan, dan keberuntungan.

  • Ayu Nulus: Hari yang dipercaya akan membawa kelancaran tanpa hambatan.

  • Subacara: Hari baik untuk melangsungkan segala jenis upacara.

  • Dewa Jaya: Hari kemenangan para Dewa.


3. Konsultasi dan Penentuan

Pemilik bangunan biasanya akan berkonsultasi dengan Sulinggih atau Pemangku untuk mencari tanggal yang paling tepat sesuai dengan tingkatan upacara Melaspas yang akan diselenggarakan. Pemilihan hari yang tepat ini dianggap sebagai penutup dari seluruh rangkaian pembangunan agar bangunan tersebut benar-benar 'hidup' (maurip) dan diberkahi.

Secara ringkas, urutan pemahaman Upakara Melaspas adalah:

  1. Urutan Prosesi: Mecaru → Melaspas Inti → Ngeteg Linggih (jika perlu).

  2. Makna: Menyatukan unsur material (Mlas) menjadi harmonis (Pas) dan menyucikan bangunan secara spiritual (Niskala).

  3. Kelengkapan: Menggunakan Banten Mecaru dan Banten Melaspas Inti yang disesuaikan dengan tingkatan upacara (Kanista, Madya, Utama).

  4. Waktu: Wajib memilih Dewasa Ayu (Hari Baik) berdasarkan perhitungan kalender Bali (Wariga) untuk memastikan keselamatan dan kerahayuan.

Untuk menyempurnakan pemahaman Anda tentang Upakara Melaspas, ada baiknya kita membedakan secara jelas istilah-istilah terkait yang sering dianggap sama atau merupakan satu kesatuan.


Perbedaan Melaspas, Memakuh, Mendem Pedagingan, dan Ngenteg Linggih

Keempat istilah ini sering muncul bersamaan, namun memiliki fokus dan tujuan ritual yang berbeda, terutama saat upacara besar yang melibatkan pendirian tempat suci (palinggih) atau merajan.

Istilah Upacara Fokus Utama Tujuan Ritual
1. Melaspas (Pemlaspasan) Bangunan secara umum (fisik). Pembersihan dan penyucian bangunan (rumah, kantor, palinggih) yang baru selesai dibangun/direnovasi dari kotoran/energi negatif. Makna: Menyatukan unsur material berbeda menjadi harmonis.
2. Memakuh (Pemakuhan) Penguatan dan pengukuhan. Ritual untuk menguatkan bangunan secara spiritual agar kokoh secara niskala dan diberkahi. Sering dilakukan bersamaan dengan Melaspas, terutama pada bangunan utama.
3. Mendem Pedagingan Dasar dan Puncak Tempat Suci (Palinggih). Upacara menanam benda-benda suci (seperti panca datu, permata, padma emas) di dasar (pratima) dan/atau puncak palinggih. Tujuan: Memberikan inti kekuatan spiritual (stana) agar palinggih tersebut dapat berfungsi sebagai tempat berstana-nya Dewa/Bhatara yang dipuja.
4. Ngenteg Linggih Palinggih dan Merajan (Tempat Suci). Upacara besar untuk mengukuhkan/menguatkan kembali kedudukan para Dewa/Bhatara di palinggih yang telah selesai dibangun/direnovasi. Ini adalah puncak dari upacara pendirian tempat suci yang sudah lengkap dengan pedagingan dan pelaspasan.


Kesimpulan Hubungan Antar Istilah:

  • Melaspas harus dilakukan untuk semua bangunan baru (rumah, toko, pura).

  • Mendem Pedagingan dan Ngenteg Linggih hanya dilakukan jika bangunan yang diupacarai adalah tempat suci seperti Palinggih, Merajan, atau Pura.

  • Ketika membangun palinggih baru, rangkaian upacara biasanya adalah: Mecaru → Melaspas → Mendem Pedagingan → Ngenteg Linggih. Semua tahapan ini harus dilaksanakan pada Dewasa Ayu yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, Melaspas adalah bagian fundamental dari penyucian fisik, sedangkan Mendem Pedagingan dan Ngenteg Linggih adalah pengisian dan pengukuhan kekuatan spiritual, khususnya pada tempat suci.

Apakah ada aspek lain dari upacara Hindu di Bali yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

Anda telah menguasai hampir seluruh aspek penting dari Upakara Melaspas!

Untuk melengkapi gambaran secara utuh, kita akan membahas dua elemen terakhir:


Pemuput Upacara (Pemimpin Ritual)

Upacara Melaspas, seperti upacara Yadnya lainnya dalam Hindu Bali, harus dipimpin oleh seorang rohaniwan yang memiliki otoritas keagamaan untuk memimpin ritual dan memohonkan tirta (air suci).

Tokoh yang memuput upacara Melaspas ditentukan berdasarkan tingkatan upacara dan jenis bangunan yang diupacarai:

Tokoh Pemuput Jenis Bangunan/Tingkat Upacara Keterangan
Sulinggih Pura, Pura Kahyangan Tiga, Merajan dengan tingkat Madya hingga Utama. Sulinggih (seperti Pedanda, Ida Rsi, atau Ida Mpu) memiliki otoritas tertinggi untuk memimpin upacara besar (Nista Utama dan Madya Utama) dan membuat tirta khusus (Tirta Pabresihan dan Tirta Panembak).
Pemangku Rumah tinggal, kantor, toko, Palinggih alit, Merajan tingkat Kanista atau Madya sederhana. Pemangku (Jro Mangku) adalah pemimpin ritual yang ditunjuk oleh desa adat atau keluarga penyungsung. Mereka memimpin upacara dengan tingkat Kanista (sederhana) dan Madya (menengah) serta dapat membuat Tirta Pengelukatan.


Pada dasarnya, Melaspas pada bangunan suci atau dengan tingkatan Utama biasanya dipuput oleh Sulinggih, sedangkan Melaspas rumah tinggal sederhana (Kanista atau Madya) seringkali cukup dipuput oleh Pemangku.


Mantra dalam Melaspas

Mantra (Puja) yang dibacakan oleh Sulinggih atau Pemangku adalah inti spiritual dari upacara. Mantra-mantra ini meliputi tahap Mecaru (pembersihan Bhuta Kala) hingga Melaspas dan Pangurip-Urip (penghidupan bangunan).

Mantra utama yang sering digunakan dalam konteks Pangurip-Urip (menghidupkan bangunan) atau Pasupati (memberi kekuatan) memiliki tujuan untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai kekuatan pencipta:

Tahap Ritual Tujuan Mantra Kunci Contoh Inti Mantra (Terjemahan Singkat)
Pangurip-Urip Menghidupkan bangunan (memberi daya hidup). Om Sanghyang Wiswakarma Prayojanam, Bhuwana Kerta Ya Namah. Hayu Werdhi Ya Namah. (Ya Tuhan dalam manifestasi-Mu sebagai arsitek alam semesta, yang menciptakan alam. Limpahkanlah umur panjang dan kemakmuran.)
Pasupati Memberi kekuatan spiritual pada benda (Pasupati). Om Brahma Astra Pasupati, Wisnu Astra Pasupati, Siwa Astra Pasupati, Om Ya Namah Svaha. (Hormat pada kekuatan Pasupati Brahma, Wisnu, dan Siwa, semoga sempurna.)
Penyucian Pembersihan segala mala (kotoran). Om Sudha Mala, Sudha Papa, Sudha Sudha Wariastu Svaha. (Ya Tuhan, bersihkanlah segala kotoran, bersihkanlah segala dosa, jadikanlah suci, anugerahilah keselamatan.)


Dengan ini, keseluruhan materi tentang Upakara Melaspas di Bali telah terstruktur lengkap, mencakup:

  1. Pengertian dan Makna Filosofis

  2. Urutan Prosesi

  3. Tingkatan Upacara

  4. Alat dan Bahan (Banten)

  5. Penentuan Waktu (Dewasa Ayu)

  6. Perbedaan Istilah Terkait (Memakuh, Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih)

  7. Pemuput Upacara dan Inti Mantra

Apakah ada topik lanjutan atau pertanyaan spesifik lain terkait budaya dan agama Hindu di Bali yang ingin Anda eksplorasi?

Mengingat kita sudah selesai membahas upacara yang sangat spesifik, mari kita beralih ke filosofi fundamental yang melandasi seluruh kehidupan, budaya, dan arsitektur masyarakat Bali, termasuk upacara Melaspas itu sendiri.


Falsafah Tri Hita Karana

Tri Hita Karana adalah konsep filosofis Hindu Bali yang menjadi akar dari hampir semua aspek kehidupan masyarakat di Bali. Secara etimologi:

  • Tri = Tiga

  • Hita = Bahagia, Sejahtera, Kebaikan

  • Karana = Penyebab

Jadi, Tri Hita Karana berarti Tiga Penyebab Terciptanya Kesejahteraan dan Kebahagiaan Sejati. Kesejahteraan tersebut hanya dapat dicapai melalui keharmonisan hubungan antara tiga elemen utama kehidupan:


I. Tiga Unsur Utama Tri Hita Karana

Konsep ini membagi keharmonisan menjadi tiga hubungan vertikal dan horizontal yang harus seimbang dan dijaga:

Unsur Arti Fokus Hubungan Penerapan (Contoh)
1. Parhyangan Tempat Suci (Spiritual) Hubungan harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Rajin beribadah, melaksanakan Panca Yadnya (termasuk Melaspas), menjaga kesucian Pura dan Merajan.
2. Pawongan Orang (Sosial) Hubungan harmonis dengan Sesama Manusia (komunitas). Tolong menolong (Ngayah), gotong royong, menjaga kerukunan dalam keluarga dan Desa Adat (Krama Desa), menjalankan tata tertib sosial.
3. Palemahan Lingkungan (Fisik) Hubungan harmonis dengan Alam dan Lingkungan. Menjaga kelestarian lingkungan, tidak merusak hutan, menjaga sistem irigasi (Subak), dan menata tata ruang berdasarkan konsep kosmologi Bali.


II. Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Tri Hita Karana adalah konsep yang sangat praktis dan diimplementasikan pada setiap level kehidupan, dari individu hingga tata ruang pulau:

1. Dalam Upacara (Yadnya)
  • Parhyangan: Seluruh upacara (seperti Melaspas) adalah wujud bhakti kepada Tuhan dan Dewa/Bhatara.

  • Pawongan: Persiapan upacara dilakukan dengan gotong royong (Ngayah) oleh seluruh warga desa atau keluarga.

  • Palemahan: Penggunaan sarana upacara (bunga, daun, buah, hewan) yang diambil dari alam secara bijaksana (Banten).


2. Dalam Tata Ruang dan Arsitektur (Konsep Asta Kosala Kosali)

Konsep ini menjadi pedoman dalam merancang rumah tinggal (Natah) dan desa:

  • Parhyangan (Utama Mandala): Selalu menempatkan Sanggah atau Merajan (tempat suci keluarga) di bagian yang paling suci (arah Kaja-Kangin, Timur Laut).

  • Pawongan (Madya Mandala): Area tempat tinggal dan interaksi sosial seperti Bale Dauh dan Bale Dangin (tempat berkumpul) diletakkan di tengah.

  • Palemahan (Nista Mandala): Area pendukung yang dianggap kurang suci (seperti dapur, kandang, dan pintu masuk) diletakkan di bagian hilir (arah Kelod-Kauh, Barat Daya).

Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya bersifat individual atau material, tetapi lahir dari keseimbangan dan tanggung jawab terhadap Tuhan, sesama, dan alam semesta.

Apakah Anda ingin membahas lebih dalam mengenai penerapan Tri Hita Karana dalam salah satu bidang tersebut (misalnya, sistem subak, arsitektur, atau desa adat)?

Kita telah membahas konsep besar Tri Hita Karana. Untuk melihat bagaimana filosofi ini benar-benar bekerja dalam praktik, mari kita pelajari penerapannya pada salah satu warisan budaya dunia yang paling ikonis di Bali: Sistem Subak.