{hinduloka} $title={Daftar Isi} Rangkaian Hari Raya galungan dan Kuningan

PerayaanGalungandanKuninganmerupakan perayaan spiritual yang terstruktur secara rapi dalam kalender Bali, menyajikan sebuah kurikulum spiritual yang mengajarkan disiplin diri, rasa syukur, penghormatan terhadap alam dan leluhur, serta komitmen abadi terhadap penegakanDharma(kebenaran dan kebajikan) dalam setiap aspek kehidupan.

Secara keseluruhan, rangkaian Galungan dan Kuningan adalah siklus spiritual yang mengingatkan umat Hindu Bali untuk senantiasa menegakkan kebenaran (Dharma) dalam diri sendiri, menjaga kesucian lahir dan batin, serta bersyukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Makna kemenanganDharmaatasAdharmapada Galungan diwujudkan secara konkret dalam sebuah mitologi dan ritual yang melibatkan turunnyaSang Kala Tiga Wisesake dunia(Bhuana Agung)dan ke dalam diri manusia(Bhuana Alit).

Sang Kala Tiga(tiga jenisBhuta Kala) diyakini datang berturut-turut menjelang Galungan untuk mengganggu ketenangan batin dan menggoda manusia:

Kedatangan (Hari)Nama Bhuta KalaMakna Gangguan (Adharma)Perlawanan (Dharma)
Penyekeban(Minggu Pahing)Bhuta Kala DungulanNafsu ingin merebut atau mengalahkan semua yang dikuasai orang lain.Nyekeb Indriya (mengekang indra) dan memantapkan keyakinan.
Penyajan(Senin Pon)Bhuta Kala GalunganNafsu untuk menang dengan segala cara yang tidak sesuai dengan etika agama.Memantapkan pikiran dan niat suci (Wirasa) untuk menjadi pemenang (Dharma).
Penampahan(Selasa Wage)Bhuta Kala AmangkuratNafsu yang selalu ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaan (Amangkurat = menguasai dunia).Ritual Penampahan (simbolis menyembelih sifat kebinatangan) dan memohon Jaya (kemenangan).

Pada Hari RayaGalungan (Rabu Kliwon), umat Hindu merayakan kemenangan atas godaan dan serangan dariSang Kala Tigatersebut. Kemenangan ini bukanlah perang fisik, melainkan perjuangan spiritual yang berhasil menyatukan kekuatan rohani untuk mendapatkan pikiran dan pendirian yang tenang dan terang.

Sejarah Galungan tidak hanya berkisar pada kalender, tetapi juga pada kisah perjuangan kosmis yang menjadi dasar filosofisnya:

  • Asal-usul Galungan:Berdasarkan sejumlah catatan dan lontar, Galungan pertama kali dirayakan pada tahun Saka 804 Masehi (sekitar tahun 882 Masehi). Perayaan ini sempat terhenti dan dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu sekitar tahun Saka 1126.

  • Perang Dharma Melawan Adharma:Galungan dirayakan untuk memperingati kemenangan Ida Bhatara Indra (Dewa Kebaikan/Dharma) dalam mengalahkan Raja Mayadenawa (Raja Angkuh/Adharma).

    Raja Mayadenawa adalah raja yang sakti tetapi lalim. Ia melarang rakyatnya menyembah dewa dan memerintahkan penghancuran pura-pura.

    Kisah ini melambangkan bahwa keangkuhan, kesombongan, dan larangan untuk berbuat baik (Adharma) pada akhirnya akan dikalahkan oleh kekuatan Dharma dan kebijaksanaan (Wiweka Jnyana).

Seluruh tata urutan, waktu, dan makna filosofis dari Galungan hingga Kuningan berlandaskan pada sastra suci Hindu Bali, terutama Lontar Sundarigama.

  • Makna Galungan:Lontar ini menyebutkan, "Buddha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep."

    Ini adalah hari untuk memusatkan samadhi (konsentrasi) agar pikiran menjadi terang (bersih dari kekacauan).

  • Waktu Kuningan:Sundarigama juga menjelaskan bahwa pada hari Kuningan, para Dewata dan Pitara (leluhur) turun ke bumi hanya sampai tengah hari. Ini yang menjadi alasan utama mengapa seluruh persembahyangan dan upacara Kuningan wajib diselesaikan sebelum pukul 12.00 WITA. Persembahyangan yang dilakukan setelah waktu tersebut dianggap sia-sia.

Tradisi Khas Ritual

Di luar ritual persembahyangan di pura, ada tradisi khas yang menambah semarak perayaan, terutama di kawasan desa adat:

A. Ngelawang Barong

Umumnya dilakukan antara Penampahan Galungan hingga Kuningan. KataNgelawangberasal dari kataLawangyang berarti pintu. Ini adalah ritual tolak bala yang dilakukan denganmengarak Barong(paling sering menggunakanBarong Bangkung. Barongberbentuk babi hutan) berkeliling dari satu pintu rumah ke pintu lainnya di desa.

Barong,sebagai simbol pelindung dan kekuatan suci, berfungsi untuk menetralisir aura negatif(Bhuta Kala)yang masih tersisa di desa pasca-kemenangan Dharma di Galungan. Masyarakat yang dilewati Barong biasanya memberikan sesari (sumbangan sukarela) sebagai wujud terima kasih dan permohonan keselamatan.

Tradisi Barong Bangkal (Barong berbentuk babi hutan) diarak dari pintu ke pintu rumah warga. Ritual ini dilakukan sebagai upaya pembersihan Bhuta Kala di lingkungan desa, diiringi dengan tarian dan gamelan.

B. Mapeed / Ngiringang Upakara

Tradisi mengarak sesajen (upakara) yang disusun tinggi (gebogan) secara beramai-ramai oleh ibu-ibu dan remaja putri menuju pura tempat persembahyangan.

Ini adalah perwujudan kegembiraan dan estetika ritual. Barisan Mapeed yang anggun melambangkan rasa syukur yang dipersembahkan dengan tulus dan indah.

C. Tradisi Sosial

Selain persembahyangan di Pura (Pemujaan kepada Sang Hyang Widhi), terdapat beberapa tradisi sosial yang dilakukan pada hari Galungan:

  • Silaturahmi :Dilakukan pada Hari Umanis Galungan dengan mengunjungi sanak saudara, dan melampiaskan kegembiraan atas kemenangan Dharma dengan batas kesusilaan.

  • Mamunjung :Tradisi mengunjungi setra (kuburan) atau pusara keluarga yang telah meninggal dunia tetapi belum diaben (dikremasi). Keluarga membawa punjungan (sesaji dan makanan) dan meletakkannya di atas makam sebagai bentuk Pitra Yadnya (bakti kepada leluhur) dan ungkapan rasa syukur atas rezeki.

  • Ngejot (Berbagi) :Setelah persembahyangan, tradisi Ngejot atau berbagi makanan dan hasil banten kepada tetangga, baik sesama Hindu maupun non-Hindu, adalah praktik konkret dari Bhakti Karma Marga (jalan bakti melalui perbuatan). Ini mewujudkan nilai Toleransi dan Kepedulian Sosial.

Pentingnya Pengendalian Diri (Jñana dan Wirasa)

Inti dari Galungan, seperti yang termuat dalam lontar Sunarigama, adalah penyatuan kekuatan rohani untuk mendapat pandangan yang terang. Hal ini dicapai melalui dua hal:

  1. Pengendalian Indria (Penyekeban): Menahan nafsu dan godaan yang muncul dari luar.

  2. Pemantapan Niat Suci (Penyajan): Fokus pada kebenaran dan keyakinan spiritual (Dharma) sebagai bekal hidup.

Seluruh rangkaian Galungan dan Kuningan pada dasarnya merupakan praktik nyata dari konsep filosofis Hindu Bali: Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kesejahteraan/Kebahagiaan), yaitu hubungan harmonis antara:

1. Hubungan dengan Tuhan (Parahyangan)

Puncak dari perayaan ini adalah persembahyangan intensif, persembahan sesaji (banten), dan pemasangan Penjor (simbol gunung suci dan manifestasi kemakmuran Ida Sang Hyang Widhi).

Umat mengakui dan mensyukuri anugerah Tuhan atas terciptanya alam semesta dan kemenangan Dharma. Proses penyucian diri (Sugihan Bali) dan lingkungan (Sugihan Jawa) juga dilakukan untuk menyambut kehadiran suci-Nya.

2. Hubungan dengan Sesama Manusia (Pawongan)

Tradisi Umanis Galungan dengan kunjungan keluarga (silaturahmi), serta kumpulnya seluruh sanak saudara untuk melakukan persembahyangan bersama di pura keluarga.

Momen ini mempererat tali persaudaraan dan solidaritas sosial. Kemenangan Dharma dalam diri masing-masing individu seharusnya tercermin dalam hubungan yang harmonis dan damai antar sesama.

Rangkaian Galungan-Kuningan berfungsi sebagai katalisator untuk memperkuat etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat:

  • Toleransi dan Kebersamaan (Gotong Royong):Proses pembuatan Penjor, Lawar, dan banten melibatkan seluruh anggota keluarga dan sering kali warga banjar (lingkungan). Hal ini memupuk semangat kebersamaan.

  • Introspeksi Kolektif:Kemenangan Dharma atas Adharma menjadi landasan moral bersama. Perayaan ini mengingatkan setiap orang untuk mengamalkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari, yang secara kolektif akan menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis.

Dengan demikian, Galungan dan Kuningan adalah serangkaian Yadnya (pengorbanan suci) yang tidak hanya bertujuan membersihkan jiwa individu, tetapi juga menegakkan tatanan kosmis, sosial, dan alam agar tetap seimbang dan sejahtera.

3. Hubungan dengan Alam (Palemahan)

Dimulai dariTumpek Warigayang merupakan upacara pemujaan kepada Dewa Tumbuh-tumbuhan, hingga penggunaan hasil bumi (padi, buah-buahan, umbi-umbian) sebagai hiasan Penjor dan isi sesaji.

Mengajarkan rasa syukur dan penghargaan terhadap alam semesta sebagai sumber kehidupan. Penjor yang dicabut pada Pegat Wakan dan abunya ditanam kembali melambangkan siklus kehidupan dan kesuburan tanah yang tidak terputus.

Hari Raya Galungan

Waktu Pelaksanaan:Jatuh pada hari Rabu (Buda) Kliwon wuku Dungulan.

Tradisi Utama pada Galungan:

  • Pemasangan Penjor:Pemasangan bambu melengkung yang dihias indah dengan janur dan hasil bumi. Penjor dipasang di depan setiap rumah dan melambangkanGunung Agungsebagai stana para dewa dan wujud rasa syukur atas kemakmuran dan kesejahteraan yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya.

  • Persembahyangan:Umat melaksanakan persembahyangan di pura keluarga (merajan) dan pura umum (khayangan desa) untuk menghaturkan puji syukur dan memohon anugerah.

  • Mamunjung ka Setra:Tradisi mengunjungi kuburan untuk menghaturkan sesaji bagi anggota keluarga yang telah meninggal dan belum diupacarai.

Rangkaian hari suci ini bertujuan untuk pembersihan diri dan lingkungan, serta persiapan rohani menyambut kemenangan Dharma.

Nama Hari SuciWaktu PelaksanaanMakna Filosofis
Tumpek Wariga(Tumpek Bubuh)25 hari sebelum Galungan (Sabtu Kliwon wuku Wariga)Memuja Sang Hyang Sangkara (manifestasi Tuhan sebagai Dewa Keselamatan Tumbuh-tumbuhan). Umat menghaturkan sesaji (banten bubuh) pada tumbuh-tumbuhan sebagai wujud syukur dan permohonan agar berbuah lebat untuk upacara Galungan.
Sugihan Jawa6 hari sebelum Galungan (Kamis Wage wuku Sungsang)Pembersihan dan penyucianluar diri(BhuanaAgung - alam semesta dan lingkungan).
Sugihan Bali5 hari sebelum Galungan (Jumat Kliwon wuku Sungsang)Pembersihan dan penyuciandalam diri(BhuanaAlit - jiwa raga manusia).
Hari Penyekeban3 hari sebelum Galungan (Minggu Pahing wuku Dungulan)Filosofis"nyekeb indriya"(mengekang hawa nafsu) agar tidak terpengaruh hal negatif (Adharma) menjelang Galungan.
Hari Penyajan2 hari sebelum Galungan (Senin Pon wuku Dungulan)Pemantapan diri dan mental untuk merayakan Galungan, diiringi pembuatan kue Jajan Uli dan Tape sebagai simbol kegembiraan.
Hari Penampahan1 hari sebelum Galungan (Selasa Wage wuku Dungulan)Penghilangan sifat-sifat kebinatangan (nafsu buruk) dalam diri.Secara tradisi, dilakukan penyembelihan hewan kurban (babi/ayam) yang maknanya adalah mengalahkan Bhuta Galungan (simbol sifat jahat) dan mengolah daging kurban untuk sesaji.
Hari Raya GalunganRabu Kliwon wuku DungulanPuncak perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma.
Umanis Galungan1 hari setelah Galungan (Kamis Umanis wuku Dungulan)Hari Pemaridan Guru (memohon waranugraha/anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Umat melakukan kunjungan keluarga (silaturahmi).

Penjor Galungan

Penjor adalah simbol visual Galungan yang paling mudah dikenali. Penjor dipasang pada hariPenampahan Galungandan baru dicabut saatPegat Wakan.

Penjor bukan sekadar hiasan, melainkan sebuah upakara (sarana upacara) sakral yang wajib dipasang saat Penampahan Galungan (Selasa Wage Dungulan) sore hari.

  1. Lambang Gunung Agung (Parhyangan):

    • Menurut Lontar Dewa Tattwa, Penjor melambangkan Gunung Agung, yang diyakini sebagai istana Dewa dan sumber kemakmuran bagi Bali.

    • Bambu yang melengkung mencerminkan gunung tertinggi.

  2. Perwujudan Naga Kosmik (Palemahan):

    • Penjor adalah visualisasi dari dua naga kosmik: Naga Basuki dan Naga Ananta Bhoga.

    • Naga Basuki (Naga Kemakmuran) dilambangkan oleh bambu melengkung dan sampiyan Penjor, maknanya memohon kesejahteraan dan keselamatan.

    • Naga Ananta Bhoga (Naga Penyangga Bumi) dilambangkan oleh hasil bumi (pala bungkah, pala gantung seperti padi, umbi, pisang, dan kelapa) yang digantung, maknanya rasa syukur atas karunia sandang dan pangan.

  3. Filosofi Dasa Dewata:

    • Setiap unsur dalam Penjor (kain putih, kelapa, janur, tebu, sanggah Ardha Candra) adalah simbol dari manifestasiDewa-Dewa penjaga arah mata angin, mengajarkan bahwa seluruh semesta berada dalam perlindungan dan kekuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


Komponen PenjorSimbolis HinduMakna Filosofis
Batang Bambu MelengkungSimbol Gunung Agung (tempat kediaman Dēwata)Lambang kekuatan dan kemakmuran (Kesuburan) yang dianugerahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa (sebagai Bhatara Mahadewa di puncak gunung).
Hiasan Hasil BumiBerisi pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, pisang), jajan (kue), dan janur.Ungkapan rasa syukur (yajna) atas kemakmuran dan hasil panen yang diberikan oleh Tuhan.
Sanggah Penjor (Gubuk Kecil)Tempat persembahan (Canang Sari, Banten).Sebagai simbol penghormatan kepada Dewa Wisnu (Dewa Pemelihara) dan manifestasi Tuhan lainnya.
Lamāk dan GegantunganHiasan-hiasan janur yang rumit.Melambangkan keindahan alam semesta (Bhuana Agung).

Pada intinya, Penjor adalah representasiGunung/Meruyang merupakan tempat suci, dan pemasangannya adalah wujud bhakti sekala (fisik) sebagai pengingat akan kemenangan Dharma dan permohonan keselamatan serta kesejahteraan.

Rangkaian Upacara

Persiapan Galungan adalah serangkaian ritual panjang yang disebutPawedalan Jagat (Oton Gumi),dimulai 42 hari sebelumnya:

Nama RitualWaktu PelaksanaanFokus dan Makna Filosofis
Tumpek Wariga25 hari sebelum Galungan (Sabtu Kliwon Wariga)Pemujaan kepadaSang Hyang Sangkara(Dewa Tumbuh-tumbuhan). Umat memberi sesaji pada pohon(Tumpek Bubuh)sambil berharap tanaman berbuah lebat untuk sarana upacara Galungan. Melambangkan harmonisasi dengan alam (Tri Hita Karana).
Sugihan Jawa7 hari sebelum Galungan (Kamis Wage Sungsang)Penyucian Bhuana Agung (Alam Semesta/Luar Diri).Dilakukan dengan upacara Mererebu atau pembersihan pura, tempat suci, dan lingkungan.
Sugihan Bali6 hari sebelum Galungan (Jumat Kliwon Sungsang)Penyucian Bhuana Alit (Diri Sendiri).Umat melakukan pembersihan fisik (mandi, keramas) dan memohon Tirta (air suci) dari Sulinggih.
Penyekeban4 hari sebelum Galungan (Minggu Pahing Dungulan)Nyekeb Indriya (mengekang indra). Melambangkan pengendalian hawa nafsu dan pikiran negatif sebagai persiapan spiritual.
Penyajan3 hari sebelum Galungan (Senin Pon Dungulan)Saja artinya benar/serius. Momen untuk memantapkan niat dan tekad dalam menjalankan Dharma. Dipercaya diuji olehSang Bhuta Dungulan(godaan nafsu).
Penampahan Galungan1 hari sebelum Galungan (Selasa Wage Dungulan)Nampah (menyembelih/memotong). Menyembelih hewan kurban (babi/ayam) sebagai simbolis membunuh sifat Kala (kebinatangan/negatif) dalam diri, seperti keserakahan (Tamas) dan kemalasan (Rajas). Juga hari pemasanganPenjor.

Rangkaian Setelah Puncak Galungan

Rangkaian perayaan tidak berhenti pada Hari Raya Galungan (Rabu Kliwon Dungulan), melainkan terus berlanjut hingga seminggu penuh:

Nama RitualWaktu PelaksanaanFokus dan Makna Filosofis
Umanis Galungan1 hari setelah Galungan (Kamis Umanis Dungulan)Umanis berarti manis. Hari ini merupakan momen menikmati hasil kemenangan Dharma. Secara sekala (nyata), diisi dengan silaturahmi, mengunjungi sanak saudara, dan melancaran (rekreasi). Secara niskala (spiritual), umat diminta untuk menjaga pikiran yang telah suci agar tetap manis (tenang dan damai). Lontar Sundarigama menyebutkan hari ini diisi dengan Sādhanā Bhakti (latihan spiritual) dan mencari Toya Anyar (air suci baru).
Pemaridan Guru3 hari setelah Galungan (Sabtu Pon Dungulan)Memarid artinya memohon (ngelungsur), dan Guru adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Sang Hyang Siwa Guru. Maknanya adalah hari untuk memohon anugerah (waranugraha) dan kedirgāyusaan (panjang umur) dari Tuhan setelah melalui masa suci.
Ulihan7 hari setelah Galungan (Minggu Wage Kuningan)Ulih artinya kembali. Hari ini dipercaya sebagai waktu kembalinya para Dēwata-Dēwati dan Pitara (leluhur) ke Swar Galoka (Kahyangan/Surga) setelah mengunjungi bumi selama periode Galungan. Umat menghaturkan persembahan dan bersyukur atas berkah yang ditinggalkan.
Pemacekan Agung10 hari setelah Galungan (Senin Kliwon Kuningan)Pacek berarti menancapkan/meneguhkan. Pemacekan Agung adalah hari untuk menancapkan dan mengukuhkan kemenangan Dharma dalam diri. Pada sore hari (sandikala), umat menghaturkan segehan di halaman rumah untuk menyomya (menetralisir) sisa-sisa energi negatif Sang Kala Tiga Galungan agar kembali ke asalnya, sehingga Dharma dapat bersemayam dengan teguh.


Hari Raya Kuningan

Waktu Pelaksanaan: Jatuh 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada hari Sabtu (Saniscara) Kliwon wuku Kuningan.

Makna Filosofis: Hari Kuningan dimaknai sebagai hari untuk menghaturkan puji syukur, memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan, dan tuntunan lahir batin kepada para Dewa dan Leluhur (Pitara). Umat Hindu percaya bahwa pada hari ini, para Dewa dan Leluhur kembali ke kahyangan setelah turun ke bumi sejak Galungan, sehingga upacara persembahyangan hanya dilaksanakan hingga tengah hari (sebelum pukul 12.00 WITA).

Tradisi Utama pada Kuningan:

  • Nasi Kuning: Umat menghaturkan sesaji yang dihiasi dengan nasi kuning, yang melambangkan kemakmuran, keberhasilan, dan kesejahteraan.

  • Endongan:Sesaji berbentuk tas kecil yang berisi bekal, melambangkan perbekalan para Dewa dan Leluhur dalam perjalanan kembali ke surga.

  • Tamiang Kuningan:Hiasan bundar yang dipasang pada palinggih (tempat pemujaan) yang melambangkan tameng atau perisai sebagai pelindung dari segala kekuatan Adharma.


Makna dan Simbolisme pada Kuningan

Setelah merayakan kemenangan Dharma, Kuningan datang 10 hari kemudian sebagai momen perpisahan dan pengukuhan anugerah.

A. Pembatasan Waktu

Upacara Hanya Sampai Tengah Hari (Pukul 12.00 WITA): Ini adalah salah satu ciri khas Kuningan yang paling unik. Keyakinan bahwa para Dewa dan Leluhur kembali ke kahyangan setelah tengah hari mengandung makna filosofis:
Disiplin Waktu (Kala Nitya): Umat diingatkan untuk menghargai dan memanfaatkan waktu. Pemujaan tidak boleh dilakukan dengan lalai, dan harus diselesaikan sebelum batas waktu yang ditetapkan.
Pentingnya Dharma di Dunia: Pesan spiritual utama telah disampaikan. Kini, umat harus mengimplementasikan ajaran Dharma tersebut dalam sisa waktu kehidupan sehari-hari mereka. 

B. Simbolisasi Endongan dan Tamiang
  • Endongan:Sesaji kecil yang digantung dan diisi dengan beras, uang, dan bahan makanan. Ini adalah simbol bekal atau perbekelan para Dewa dan Leluhur dalam perjalanan kembali. Bagi manusia, ini melambangkan bekal utama dalam hidup adalah ilmu pengetahuan (Dharma), kebajikan (Kelebihan), dan pengendalian diri (Indriya).
  • Tamiang: Hiasan bundar seperti perisai yang terbuat dari janur, dipasang di setiap tempat suci. Tamiang adalah simbol perlindungan yang diberikan oleh Dewa dan Leluhur. Ini juga menjadi pengingat bagi umat agar selalu memiliki perisai diri (keteguhan iman) dalam menghadapi godaan Adharma pasca-Galungan.

    Penutup Rangkaian: Buda Kliwon Pegat Wakan

    Rangkaian upacara Galungan dan Kuningan tidak berakhir pada Hari Kuningan, melainkan ditutup secara resmi pada hariBuda Kliwon Pahang,atau yang dikenal sebagaiPegat Wakan(terjadi 35 hari setelah Galungan).

    • Etimologi: Pegat berarti putus/berakhir, dan Wakan atau Warah berarti bicara atau tuntunan.

    • Makna:

      1. Berakhirnya Tapa Brata: Hari ini menandai berakhirnya periode 42 hari umat Hindu memusatkan renungan suci dan pengendalian diri (tapa brata) yang dimulai sejak Tumpek Wariga.

      2. Pelepasan Simbol: Pada hari ini, Penjor yang sudah berdiri tegak sejak Penampahan Galungan akan dicabut. Penjor tersebut kemudian dibersihkan dan dibakar, dan abunya ditanam di pekarangan rumah sebagai simbol harapan kesuburan dan pikukuh jiwa urip (kekuatan hidup).

      3. Refleksi Dharma: Setelah semua atribut dicabut, umat Hindu diingatkan bahwa kemenangan Dharma harus diinternalisasi dan dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan lagi hanya dalam wujud ritual.


    Perbedaan Mendasar Banten Galungan dan Kuningan

    Meskipun keduanya adalah hari raya besar, terdapat perbedaan signifikan pada jenis persembahan (banten) dan fokus pemujaan:

    AspekHari Raya GalunganHari Raya Kuningan
    Fokus PemujaanKemenangan Dharma dan Sang Hyang Widhi dalam segala manifestasi-Nya.Pemujaan kepadaDewa dan Pitara (Leluhur)untuk memohon tuntunan, keselamatan, dan kedirgayusan (umur panjang).
    Banten UtamaBanten Gebogan (susunan buah-buahan dan jajanan yang menjulang tinggi), Banten Penjor (di bawah sanggah Penjor), dan Banten Soda (persembahan umum).Banten Tamiang (perisai), Banten Endongan (bekal/tas), dan penggunaanNasi Kuningsebagai inti persembahan.
    Makna Banten KhasBanten Penjor melambangkan Gunung Agung sebagai istana Tuhan.Endongan melambangkan bekal/sarana bagi Dewa/Leluhur kembali ke surga.Nasi Kuningmelambangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebijaksanaan (Kauningan).
    Waktu PersembahyanganSepanjang hari.Hanya sampai tengah hari (sebelum Pukul 12.00 WITA).

    Catatan:

    Hari sebelum Kuningan disebutPenampahan Kuningan(Jumat Wage Kuningan), berbeda denganPenampahan Galungan.Penampahan Kuninganadalah hari persiapan membuat Banten Kuningan,bukan hariuntuk melakukan penyembelihan kurban (nampah).