{hinduloka} $title={Daftar Isi} Arsitektur dan Konsep Candi Hindu

Bangunan candi juga memuat makna sebagai simbol alam semesta dengan ketiga tingkatannya yang masing-masing memiliki tingkat kesucian masing-masing sesuai konsepsi Hindu. Dalam pandangan Hindu, alam semesta digambarkan memiliki tiga tingkatan utama yang disebut dengan Tri Loka. Konsepsi tiga tingkatan alam ini terejawantahkan dalam bangunan candi  sebagai tiga tingkatan bangunannya.

Ketiga tingkatan tersebut masing-masing terdiri dari :

  1. Tingkatan alam  bawah (Bhurloka, Kamadhatu) sebagai tempat  hidup  manusia, 
  2. Tingkatan alam  peralihan (Bhuvarloka,  Rupadhatu) sebagai alam menengah, dan 
  3. Tingkatan alam atas (Svarloka, Arupadhatu) sebagai sorga yang menjadi tempat bersemayamnya para dewa dan roh-roh suci alam semesta. 

Ketiga tingkatan alam tersebut disimbolisasikan pada bangunan-bangunan candi sebagai bagian kaki candi (dasar bangunan), bagian badan candi (ruang suci, garbhagrha), dan bagian kepala candi (atap bangunan yang memiliki sebuah ornamen khusus di puncaknya).

Bangunan Candi Prambanan juga memuat makna simbolis sebagai tempat penyatuan pikiran antara manusia dengan Tuhan. Candi Prambanan di Jawa pada masa lalunya juga dijadikan sebagai tempat persembahyangan dan tempat umat manusia dari alam bawah (dunia) menghubungkan dirinya dengan para dewata yang bersemayam di alam atas (sorga). Pemahaman semacam ini sangat sejalan dengan konsepsi tentang keberadaan sebuah gunung kosmik utama dalam ajaran Hindu yang dinamai dengan MahaMeru

Gunung Mahasuci alam semesta ini berfungsi sebagai penyangga seluruh jagat raya, tempat hunian umat manusia, dewata, dan berbagai makhluk di alam semesta. Meru juga digambarkan berperan sebagai tiang penghubung antara alam manusia (alam bawah) dan alam dewata (alam atas).

Gunung dalam mitologi dan ajaran agama Hindu sering kali diposisikan sebagai suatu tempat yang paling suci di dunia. Dalam kosmologi Hindu pun disebutkan adanya gunung MahaMeru penyangga alam semesta. Gunung ini diyakini memiliki sebuah puncak suci bernama sorga, sebagai tempat para dewata bersemayam. Kesucian gunung kosmik MahaMeru ini diterjemahkan sebagai konsepsi gunung-gunung suci di alam nyata, seperti Mount Everst dan Kailasa (India), Semeru dan Penarungan (Jawa), dan Gunung Agung (Bali). Konsepsi-konsepsi tentang kesucian Gunung MahaMeru dan gunung-gunung mitologis lainnya itu diejawantahkan juga dalam seni arsitektur bangunan suci.

Fisik Gunung MahaMeru dan gunung-gunung pada umumnya dapat dibagi atas tiga bagian sesuai konsepsi Tri Angga, yaitu bagian puncak gunung, badan gunung, dan kaki gunung. 

Konsepsi tiga bagian gunung ini selanjutnya diterapkan pada dalam perwujudan arsitektur bangunan suci Hindu di Bali dan Jawa, sebagai tiga buah bagian bangunannya. Ketiga bagian bangunan tersebut terdiri dari bagian atap bangunan (raab), bagian ruang  suci (rong), dan bagian kaki bangunan (bebaturan). Rong bernilai setara dengan ruang suci arsitektur candi Jawa serta kuil India yang disebut garbhagṛha. Rong maupun garbhagṛha pada dasarnya memiliki makna yang setara dengan rongga gua pada daerah badan gunung.

Ornamen Kala-makara pada Candi

Sebuah ornamen multimakna yang lazim dijumpai terdapat pada bangunan candi Jawa adalah Kala-makara. Ornamen ini memiliki berbagai makna yang telah  banyak  diulas oleh  para peneliti selama ini.  Kala-makara terpahat pada daerah bagian atas lubang pintu garbhagrha (ruang utama) bangunan candi. Ornamen ini disebutkan juga berelasi kuat dengan beberapa bentuk ornamen yang berwujud semacam dengannya, seperti ornamen kīrthimukha yang dikenal dalam seni bangunan kuil India dan Nepal, ornamen Banaspati pada bangunan candi di Jawa Timur, dan ornamen Karang Bhoma yang dikenal pada bangunan gerbang bangunan suci Bali.

Ornamen wajah raksasa pada relung  pintu kuil di India dikenal dengan sebutan kīrthimukha. Ornamen ini disebut-sebut berelasi dengan adanya suatu mitologi tentang satu tokoh raja raksasa (asura) bernama Jalandara yang sakti dan kejam. Suatu ketika, Jalandara menitahkan satu tokoh raksasa sakti bawahannya yang bernama Rahu ke sorga guna menghancurkan daearah dan kewibawaan kekuasaan dewa yang tertinggi di jagat raya, yaitu Dewa Siwa. Serangan Rahu ke sorga ini membuat Mahadewa menjadi murka. Dalam kemarahannya ini, dari satu titik di antara alis di keningnya (ajna cakra) terlahirlah satu makhluk sangat dahsyat yang  selanjutnya ditugaskan membasmi dan menelan Raksasa Rahu. Kekuatan raksasa ciptaan Siwa yang dahsyat itu menyebabkan Rahu pun menjadi takluk dan mememohon ampunan dari Dewa Siwa.

Dikisahkan bahwa pada tahap selanjutnya, diceritakan bahwa raksasa ciptaan Dewa Siwa ini selanjutnya secara tanpa henti-hentinya memakan segala sesuatu yang dijumpainya. Dewa Siwa yang menyadari masalah baru ini selanjutnya dengan segera memerintahkan agar sang raksasa sakti cipataanya ini segera memakan bagian tubuhnya sendiri. Titah penciptanya  itu dipatuhi oleh sang raksasa sakti. Ia pun kemudian segera memulai memakan bagian-bagian tubuhnya, mulai dari bagian kaki, lengan, bagian paha, bagian perut dan dada, hingga seluruh bagian tubuhnya sendiri. Hanya bagian wajah (kepalanya) saja yang masih tersisa. Selanjutnya, atas kejadian ini bersabdalah Dewa Siwa lagi: 

Sejak saat ini engkau anakku bernama Kīrthimukha, dan aku nobatkan engkau untuk menjaga istanaku (kuilku), engkau tinggal di ambang pintuku, engkau akan termasyur. Barang  siapa yang  masuk [ke dalam kuil] tanpa menyembahmu, mereka tidak akan mendapatkan rahmatku.

Banaspati yang dikenal dalam budaya percandian di Jawa Timur juga merupakan bentuk varian  dari  ornamen kīrthimukha.  Dalam  mitologi lama di India, disebutkan  bahwa  sosok Kīrthimukha adalah  raksasa  (monster) yang terlahir atau keluar dari titik di antara kedua alis Sang Dewa Siwa yang sedang murka. 

Ornamen kala pada candi-candi di Jawa Tengah maupun ornamen Banaspati candi Jawa Timur, pada dasarnya memuat makna yang sama dengan ornamen Karang Bhoma yang dikenal pada bagunan pura di Bali. Kala, banaspati, ataupun bhoma diyakini memiliki latar sumber yang sama, yaitu berdasar pada kisah mitologi Hindu kuno, Kīrthimukha.

Elemen-Elemen Utama pada Candi Hindu

Pada karya-karya seni tata kota dan bangunan kuil klasik di Asia Tenggara lazimnya terdapat sebentuk elemen yang diposisikan sebagai elemen pusat atau titik sentral dari kota atau kuil tersebut. Elemen pusat ini pada umumnya tertata sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah terlihat sebagai sebuah elemen yang bernilai paling utama. Karakter khas dari elemen pusat ini dapat dicermati dalam beberapa aspeknya seperti pada (1) keutamaan posisi, (2) dimensi, (3) kualitas material penyusunnya, (4) kualitas wujudnya, dan (5) keberadaan elemen-elemen pengitar atau pendukungnya.

 Pada bangunan percandian Jawa, eksistensi elemen utama candi sebagai bentuk yang dominan dan berposisi inti candi dapat dijumpai pada bangunan Candi Borobudur dan Candi Prambanan di Jawa Tengah. Stupa induk sebagai bangunan utama candi Borobudur berada tepat pada titik Brahma (titik pusat) dari candi Buddhis tersebut.

Pada kompleks Candi Prambanan, bangunan utama candi, yaitu Candi Siwa tidak lagi berada tepat pada titik Brahma kompleks percandian itu. Pada kompleks bangunan percandian di Jawa Timur, seperti Candi Jago, Candi Cetho, Candi Sukuh, dan Candi Penataran, bangunan utama candi berada jauh di belakang dari titik Brahma kompleks candi. Munculnya konsep tata candi seperti yang berlaku di Jawa Timur ini diperkirakan menjadi cikal bakal lahirnya tata ruang kompleks bangunan pura di Bali yang dapat dijumpai pada saat ini. Bangunan utama dalam area pura lazimnya ditempatkan pada pojok kaja-kangin (Timur Laut atau Tenggara) tapak pura, jauh dari titik pusat (titik Brahma) kompleks pura tersebut.

Objek inti ini dikitari oleh elemen-elemen pendukung  dengan tingkat kesucian maupun strata kedudukan yang makin menurun dari area dengan lingkar radius terdekat hingga ke lingkar radius terjauh dari titik pusat. Aplikasi dari konsep ini dapat dicermati pada tata kota klasik di Asia Tenggara semacam kota Srikhestra di Myanmar, Angkor Wat di Kamboja, dan Bangkok (Krung Thep) di Thailand. 

Titik pusat pada kota-kota ini pada umumnya berupa istana atau bangunan kuil utama yang dikitari oleh elemen-elemen utama pengitar lainnya, semacam benteng, rumah pejabat, maupun parit atau kolam yang lebar. Lingkungan permukiman rakyat umum berada di lingkar radius terluar wilayah. Pada tata denah bangunan candi Borobudur, eksistensi konsep ini lebih mudah terlihat. 

Stupa induk yang berada di pusat mandala candi dikitari oleh stupa-stupa kecil, arca Buddha, dan relief-relief yang makin menurun tingkat kesuciannya hingga ke lingkar radius terjauh dari stupa induk di titik pusat bangunan candi. Konsep semacam ini juga dapat dilihat cukup jelas penerapannya pada tata tapak kompleks bangunan Candi Prambanan.

Pada kompleks percandian bergaya Jawa Timur dan kompleks pura di Bali, tata massa bangunan yang berdasar pada tingkatan strata kesucian bangunannya tampaknya menerapkan konsepsi yang berbeda. Kompleks candi maupun pura lazimnya akan terbagi atas beberapa zona yang tersusun secara memanjang ke belakang. Bangunan utama kompleks berada pada zona tersuci yang berada paling di dalam dan jauh dari pintu masuk utama tapak kompleks bangunan suci. 

Adapun pada zona-zona yang tingkat kesuciannya lebih rendah dan terendah, akan dijumpai berbagai massa bangunan pendukung dengan tingkat kesuciannya yang bernilai lebih rendah dan paling rendah dalam kompleks candi maupun pura tersebut.

Dalam mitologi klasik Hindu, disebutkan bahwa alam semesta tercipta dari satu titik awal yang akhirnya berkembang ke empat arah berbeda secara seimbang. Gambaran ini direpresentasikan sebagai sosok Brahma sebagai dewa pencipta dan gunung MahaMeru sebagai gunung utama kosmik yang sama-sama digambarkan memiliki empat wajah serupa itu. Konsep tentang keberadaan empat wajah serupa ini sangat nyata terlihat pada perwujudan pusat kota Cakranegara maupun kota-kota di Bali yang berbentuk pempatan agung

Pusat kota berbentuk pertemuan empat ruas jalan - dari utara, timur, selatan, dan barat - yang saling bertemu di satu titik bernama pempatan agung.

Pada bangunan candi Jawa, kuil maupun stupa di Asia lainnya, konsep empat wajah ini juga mudah dicermati. Sebagai representasi alam semesta, bangunan-bangunan suci Asia Tenggara klasik pada umumnya juga dirancang memiliki empat wajah serupa dengan empat pintu dan empat tangga masuk yang menghadap empat arah yang berbeda pula.

Keberadaan Sumbu Utama pada Candi

Selayaknya alam semesta yang  digambarkan memiliki satu sumbu utama yang berwujud gunung MahaMeru. Pada wujud karya-karya seni klasik Asia Tenggara, posisi sumbu utama tersebut juga dapat ditelusuri keberadaannya. Pada bangunan kuil Hindu maupun stupa Buddha, eksistensi sumbu utama tersebut teraplikasikan sebagai adanya dua sumbu dasar bangunan, yaitu sumbu horizontal atau bagian dasar bangunan sebagai simbol alam manusia di dataran bumi, dan sumbu vertikal atau bagian badan-atap bangunan sebagai simbol alam dewata (Tuhan) di sorga (langit). 

Hubungan kedua garis dasar ini membentuk makna simbolis bahwa bangunan suci merupakan tempat terjadinya hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan. Dalam pandangan Hinduisme, hubungan harmonis antara alam vertikal (Tuhan di alam atas sebagai pihak pemberi) dan alam horizontal (manusia di alam bawah sebagai pihak penerimanya).

Dalam konsep tata kota, garis sumbu utama kosmik tersebut terejawantahkan di titik pusat kota. Di Cakranegara maupun kota-kota tradisional di Bali yang berpola pempatan agung, konsep sumbu utama kosmik ini diadaptasi sebagai konsepsi lokal, Akasa-Pertiwi. Konsepsi ini pada dasarnya menggambarkan hubungan harmonis antara alam langit (akasa) tempat Tuhan bersemayam dan alam bumi (pertiwi) sebagai wilayah hunian umat manusia. 

Esensi konsepsi ini sangat mudah dirasakan  pada wujud pempatan agung yang berfungsi sebagai pusat kota, ruang abstrak multimakna ritual, dan ruang terbuka yang menjadi tempat terjadinya pertemuan antara alam atas (langit) dan alam bawah (bumi).

Keberadaan Elemen Puncak pada Candi

Pada wujud-wujud karya seni bangunan kuil dan seni hias mahkota raja di Asia Tenggara juga ditemukan adanya sebentuk elemen puncak yang bernilai estetika dan simbolis yang  tinggi. Elemen tersebut pada umumnya berwujud sebagai benda mungil dan memiliki makna konotatif yang dapat disepadankan sebagai bentuk jambangan air suci, permata, atau berbagai jenis batu mulia lainnya.

Pada bangunan candi, kuil, dan stupa, konsep satu elemen puncak tersebut sangat mudah terlihat wujud aplikasinya. Ornamen suci ini dapat dipastikan terpahat di puncak atap bangunan suci, berbentuk mungil yang cenderung meruncing ke atas. Apabila dikaji berdasarkan pemahaman bahwa bangunan suci Hindu maupun Buddha merupakan simbolisasi gunung MahaMeru, maka dapat ditafsirkan pula bahwa elemen  puncak  kuil yang kecil  dan  disucikan tersebut  merupakan  simbolisasi sorga yang tinggi, suci, dan sulit dicapai di puncak Sumeru itu.

Kesetaraan Konsep Candi dan Tubuh Manusia

Sejalan   dengan   konsepsi   kesetaraan antara Bhuwana Agung-Bhuwana Madya dan Bhuwana Alit, bangunan candi tentunya juga dapat diartikan memiliki kesetaraan makna simbolis juga dengan tingkatan-tingkatan tubuh manusia. Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang adanya kesetaraan makna antara tiga tingkatan bangunan candi dan tiga tingkatan tubuh manusia.

1. Tiga Tingkatan Bangunan Candi

Bangunan candi khususnya bangunan candi tunggal, pada umumnya digambarkan tersusun atas tiga tingkatan utama secara vertikal. Ketiga bagian bangunan candi tunggal itu adalah bagian dasar atau kaki bangunan; bagian badan bangunan yang lazimnya memiliki ruang suci (garbhagrha); dan bagian kepala atau atap bangunan.

Keberadaan tiga tingkatan vertikal bangunan candi tersebut juga dimiliki oleh jagat raya. Dalam pandangan kosmologis Hindu, alam raya juga dimaknai sebagai makro kosmos yang juga memiliki tiga tingkat vertikal, yaitu 

  • hamparan dataran tempat hunian manusia sebagai tingkatan kaki atau tingkatan alam bawah; 
  • bagian punggung gunung sebagai tingkatan alam menengah atau alam peralihan; dan 
  • daerah puncak gunung sebagai tingkatan alam utama yang paling disucikan di dunia. Pada tataran tubuh manusia, ketiga tingkatan tersebut dikenal dengan sebutan tri angga. Bagian kaki manusia sebagai bagian terendah yang bernilai nista atau aling rendah, menopang bagian badan manusia sebagai bagian madya atau menengah dan bagian kepala manusia sebagai bagian bernilai utama yang dimaknai bernilai paling disakralkan.

2. Tiga Tingkatan Kosmik dalam Hinduisme

Dalam pandangan Hinduisme dikenal adanya konsepsi pembagian tiga tingkatan alam semesta yang dikenal dengan sebutan Tri Loka. Ketiga tingkatan alam versi Hinduisme ini adalah tingkatan Bhurloka atau Mayapada sebagai alam tempat hidup manusia dan makhluk duniawi lainnya; Bvarloka sebagai alam menengah atau alam peralihan; dan Svarloka atau Swargaloka sebagai alam atas tempat bersemayam ya para dewata dan roh-roh suci alam semesta lainnya.

Berkenaan dengan perwujudan bangunan candi Hindu Jawa, ketiga tingkatan alam versi Hinduisme ini masing-masing juga dapat disetarakan dengan ketiga tingkatan bangunan candi. Tingkatan Bhurloka dapat disetarakan sebagai bagian kaki candi; bagian Bvarloka sebagai bagian badan candi; sedangkan bagian Svarloka sebagai bagian atap candi yang lazimnya berpuncak stupika, ratna, maupun amalaka itu.

Kesetaraan Makna antara Tiga Tingkatan Bangunan Candi, Tiga Tingkatan Alam, dan Tiga Tingkatan Tubuh Manusia

Adanya kesetaraan konseptual antara tiga tingkatan bangunan candi, tiga tingkatan alam, dan tiga tingkatan tubuh manusia merupakan suatu hal yang juga menarik untuk dicermati. Adanya nilai kesetaraan tiga tingkatan yang termuat pada ketiganya tentunya bukan suatu hal yang bersifat kebetulan semata. Hal ini tentunya  didasarkan pada  landasan konseptual bangunan-bangunan candi itu sendiri yang pada dasarnya memang mengakar pada nilai-nilai filosofis dalam ajaran Hindu.

Pemahaman tersebut selanjutnya makin diperkuat dengan adanya bukti fundamental yang menunjukkan adanya kesamaan elemen pengisi masing-masing tingkatan yang terdapat pada bangunan candi, alam semesta, dan tubuh manusia itu. Penjabaran berkenaan dengan hal ini dapat dicermati pada uraian berikut ini.


a. Bagian dasar candi sebagai simbol tingkatan alam bawah

Pada bagian dasar candi lazimnya akan dijumpai bidang alas yang luas permukaannya menjadi pijakan bangunan candi secara keseluruhan. Bidang alas ini juga berperan secara struktural menopang seluruh bagian badan bangunan candi. Pada bagian ini lazimnya akan dijumpai elemen teras bertingkat-tingkat, selasar pradaksina patha, dan tangga menuju ruang suci garbargha bangunan candi. Bagian dasar candi pada umumnya dihiasi relief-relief yang bertemakan alam bawah. 

Tingkatan dasar bangunan candi ini pada dasarnya dapat dimaknai sebagai tingkatan alam Bhurloka yang menjadi tempat hidup umat manusia dan segala makhluk duniawi lainnya. Dasar bangunan juga dapat diartikan bagai tingkatan alam Kamaloka atau Kamadhatu yang dikenal dalam pandangan Buddhisme. 

Tingkatan alam ini, memang digambarkan sebagai tingkatan alam yang penuh dengan nafsu dan keinginan duniawi. Manusia yang masih terikat daya tarik keduniawian akan selalu cenderung berupaya memenuhi segala nafsu dan keinginan dalam hidupnya itu. Gambaran semacam ini banyak diwujudkan pada bagian dasar bangunan candi sebagai relief-relief atau elemen-elemen estetis yang melukiskan alam kehidupan di Mayapada

Di alam nyata, bagian dasar bangunan candi ini juga dapat disetarakan dengan hamparan dataran dan kaki gunung yang menjadi habitat hidup manusia dan segala makhluk hidup dunia lainnya itu.

Elemen tangga bangunan yang terdapat pada tingkatan dasar bangunan candi dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai "jembatan" atau "jalan" penghubung dan dapat dilalui umat manusia yang hendak menyatukan pikiran menuju kesucian alam atas. "Jalan" suci ini juga dapat dimaknai sebagai upaya manusia untuk melepaskan diri   dari ikatan duniawi untuk menuju dan menyatu dengan keutamaan alam di atasnya, Bvarloka dan Svarloka.

Dalam konteks tubuh manusia, tidak disangsikan lagi bahwa bagian dasar candi dapat disetarakan dengan bagian kaki pada tubuh manusia.


b. Bagian badan candi sebagai simbol tingkatan alam peralihan

Bagian kedua candi berada tepat di atas bagian dasar bangunannya. Pada bangunan candi tunggal  vertikal, bagian ini lazimnya mudah dikenali  sebagai bentuk badan bangunan yang memiliki ruang suci atau grabhagrha. Di dalam ruang suci ini lazimnya terdapat berbagai benda sakral pemujaan, seperti arca tokoh dewata utama, lingga-yoni, maupun relik sakral lainnya. Ruang suci ini dihubungkan dengan bagian dasar bangunan candi oleh satu atau beberapa elemen tangga. Pada bagian dinding badan bangunan candi lazimnya dijumpai beberapa ragam hias yang menggambarkan tingkatan alam yang lebih tinggi dari pada tema relief pada bagian dasar candi.

Bagian  badan candi merupakan  simbolisasi dari  tingkatan alam  peralihan yang dalam pandangan Hinduisme dikenal dengan sebutan Bvarloka, sedangkan dalam ajaran Buddhis disebut sebagai Rupaloka. Di alam nyata, bagian badan candi cenderung dapat dimaknai sebagai simbol badan gunung yang menjadi area transisi di antara hamparan dataran tempat hidup manusia dan puncak gunung yang pada umumnya sangat disucikan itu. Tingkatan bagian bangunan candi ini juga dapat disetarakan dengan bagian badan pada tubuh manusia.

Sesuai dengan namanya, pada tingkatan alam peralihan ini lazimnya terdapat wujud-wujud simbolis dari kesucian dan kekuatan alam atas (surga) yang abstrak itu. Pada bagian badan bangunan atau ruang suci candi lazimnya terdapat arca tokoh dewata yang pada intinya merupakan wujud simbolis dari kekuatan abstrak Tuhan yang sulit dipikirkan itu (Sanskrit: Acintya). 

Baik arca-arca tokoh dewata utama,  lingga-yoni,  maupun  relik  pemujaan yang terdapat  pada bagian  badan candi bukan merupakan benda berhala yang dipuja umat Hindu maupun Buddha. Benda-benda sakral tersebut hanya merupakan sarana mempersatukan pikiran atau sarana berwujud yang berperan untuk menyimbolisasikan kekuatan dan kesucian Tuhan yang Mahaesa yang sangat mulia dan abstrak itu. Berkenaan dengan ini, mudah pula dipahami penggunaan sebutan "alam berwujud" untuk menggambarkan tingkatan alam ini.

Ruang suci atau grabhagrha yang terdapat pada bagian badan candi tunggal vertikal merupakan simbol dari gambaran alam badan pegunungan yang banyak memiliki celah dan rongga yang terbentuk secara alami. Dalam tradisi Nusantara, rongga-rongga alami pada daerah badan gunung (alam peralihan) yang disebut dengan nama gua ini pada masa lalunya sering menjadi tempat umat dalam melakukan samadhi, pemujaan, dan penyucian diri dari kuatnya ikatan alam Maya yang membelenggu manusia di alam duniawi (alam bawah).

Umat yang hendak bersemadi ke gua di badan gunung harus mendaki dan menaik lereng gunung. Mereka melewati jalan-jalan menanjak dari bagian kaki gunung hingga ke lereng gunung. Jalan mendaki dan menanjak ini selanjutnya pada bangunan candi tunggal diwujudkan sebagai elemen tangga candi.

Karakter alam peralihan berupa badan gunung hanya mudah terlihat dengan adanya teras bangunan yang bertingkat-tingkat yang dihubungkan oleh beberapa jalur tangga bangunan.


c. Bagian atap candi bagai simbol tingkatan alam atas

Pada bagian atap candi lazimnya terdapat beberapa tingkatan atap yang memiliki sebentuk puncak bernama kalasa, stupika, maupun amalaka. Ornamen ini disebut sebagai simbol kesucian surga di puncak tertinggi alam atas. 

Bagian atap candi dalam  konteks kesetaraan dengan konsepsi Tri Loka Hindu, dapat diartikan sebagai simbol tingkatan alam Svarloka (sorga) dan Arupaloka ('alam tidak berwujud'). Pada bagian atap bangunan candi lazimnya memang terdapat ornamen-ornamen yang berwujud abstrak, mungil, dan lebih serderhana wujudnya  dibandingkan dengan perwujudan ragam hias di daerah badan dan kaki candi. Wujud ornamen-ornamen di bagian atap candi yang cenderung abstrak dan sederhana ini sangat sejalan dengan filosofi tingkatan alam atas yang suci dan sulit terpikirkan itu.

Bagian atap candi yang cenderung memuncak tunggal ini di alam nyata dapat disetarakan sebagai bagian puncak gunung yang sangat disakralkan dalam tradisi Hindu. Pada tataran tubuh manusia, atap bangunan candi dapat dipadankan dengan eksistensi kepala sebagai bagian tubuh yang paling utama dan berperan sebagai pengendali metabolisme tubuh manusia cara keseluruhan.

Sejalan dengan konsepsi kesetaraan antara Bhuwana Agung (makrokosmos) dan Bhuwana  Alit (mikrokosmos), dalam  seni tradisional  Nusantara, konsepsi puncak bangunan candi semacam ini juga terejawantahkan dalam wujud mahkota raja yang cenderung juga berpuncak tunggal. 

Dalam konteks ini, sesuai dengan konsepsi Dewa Raja, sosok raja dimaknai sebagai sosok perwujudan tokoh dewata di dunia. Segala titah sang raja diartikan dan dipatuhi sebagai sabda langsung dari para dewa dari alam atas (sorga). Mahkota sosok raja juga dirancang sedemikian rupa dengan puncak yang cenderung tunggal selayaknya puncak gunung dan puncak candi yang menyimbolkan kesucian alam atas (sorga).


Tingkatan Alam Makro dan Mikro Kosmos

Makro kosmos (jagat raya) dan mikro kosmos (tubuh manusia) sesungguhnya merupakan dua tingkatan alam yang berbeda dalam hal skala, kedudukan, dan fungsinya. Meskipun demikian, berbagai bangsa meyakini bahwa keduanya tetap memiliki elemen-elemen yang bernilai setara dan memiliki kesamaan sifat. Dalam konteks  ini, area lingkungan  hunian, area kota, dan  bangunan yang berposisi sebagai "messo kosmos", dimaknai pula sebagai alam tiruan jagat raya yang berperan mewadahi aktivitas hidup manusia. Sudah selayaknya, "messo kosmos" pun ditata agar memiliki karakter yang setara dengan makro kosmos dan mikro kosmos.

Adanya hubungan kesetaraan antara ketiga kosmos tersebut dalam pandangan Hindu juga makin diperkuat dengan adanya konsepsi kosmologi klasik yang menggambarkan tentang wujud jagat raya sesungguhnya. 

Segala hal yang berlaku dalam pandangan kosmologi Hindu klasik itu, diyakini pula akan dapat dijumpai padanannya dalam segala tatanan kehidupan yang berlangsung di tataran makro kosmos dan mikro kosmos. Pandangan semacam itu selanjutnya  juga  telah menjadi ilham bagi lahirnya berbagai wujud karya seni di negara-negara yang banyak mendapat pengaruh kultur Hindu India, seperti Kamboja, Thailand, Myanmar, dan Indonesia. 

Pada bagian berikut ini dijelaskan tentang adanya kesetaraan makna dari elemen-elemen yang terdapat dalam berbagai wujud karya seni klasik di Asia Tenggara.


Penerapan konsepsi oposisi biner pada candi Hindu

Dalam pokok bahasan berikut ini diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan wujud penerapan konsepsi oposisi biner pada candi Jawa dan beberapa bangunan Hindu dan Buddha Asia. Gambaran penerapan yang menjadi fokus bahasan mencermerti aspek-aspek: (a) bentuk dasar; (b) tata tapak; (c) tangga bangunan dan sosok penjaga pintu; (d) arca; serta (e) karakteristik ragam hiasnya.

a. Bentuk dasar bangunan suci

Berbagai wujud varian candi maupun bangunan suci Hindu di Asia pada dasarnya memuat sebuah grand concept berkenaan hubungan harmonis manusia dari alam bawah dan Tuhan di alam atas.

Dunia sebagai alam manusia diidentikkan sebagai wilayah permukaan bumi yang “datar” serta disimbolisasikan menjadi wujud dasar atau bagian landasan bangunan suci. Bagian terbawah candi ini lazimnya diwujudkan pada bangunan-bangunan kuil yang  bercorak Hinduistis selayaknya landasan pijak bangunan candi dengan permukaannya yang horizontal, luas, datar, berketinggian tertentu, serta dilengkapi barisan tangga sebagai jalan sirkulasi ke arah vertikalnya. Bidang landasan bangunan ini terlihat seperti satu garis horizontal yang melandasi bangunan secara keseluruhan.

Dalam ajaran Hindu, kaki bangunan suci pada umumnya disetarakan sebagai perlambang alam duniawi yang berstrata sebagai alam bawah. Tingkatan alam   ini dalam   pandangan Hinduisme dikenal   dengan sebutan Bhurloka (alam bumi‟).
Ilustrasi alam atas yang dimaknai sebagai alam sorga, pada perwujudan candi maupun bangunan suci Hindu pada umumnya dirupakan sebagai elemen puncak bangunan suci yang berada pada puncak bangunan secara keseluruhan. 
Badan bangunan lazimnya mengambil bentuk dasar vertikal yang selanjutnya dikreasikan menjadi perwujudan badan dan atap bangunan suci, baik itu bangunan mandir (India), pagoda (Cina, Jepang, atau Korea), candi (Jawa), maupun meru dan padmasana (Bali). 

Apabila  dicermati pada bagian inti bangunan-bangunan suci ini sesungguhnya termuat satu wujud inplisit-imajiner berupa sebuah garis vertikal yang lurus tegas. Titik puncak  garis vertikal ini diartikan sebagai simbolisasi alam atas (alam surgawi) yang tinggi dan berada sangat jauh di atas tingkatan alam manusia (alam duniawi).

Apabila kedua garis dasar itu; vertikal dan horizontal bangunan suci tersebut saling didekatkan dan dihubungkan, maka didapatlah adanya satu relasi imajiner harmonis antara kedua garis dasar bangunan suci tersebut. Relasi tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa bangunan-bangunan suci tersebut memiliki peranan dan fungsi utama mempertemukan umat manusia dari tingkatan alam bawah (alam duniawi) dengan Tuhan beserta  segala manifestasiNya yang “berada” di tingkatan alam atas (alam surgawi). 

Ilustrasi relasi simbolis ini juga melatarbelakangi konsep penyatuan lingga dan yoni yang memuat multimakna tersebut. Salah satu makna yang terkandung di dalamnya antara lain sebagai simbolisasi adanya relasi harmonis antara Tuhan atau purusha sebagai pemberi kekuatan suci serta umat manusia atau prkirthi sebagai pihak penerimanya.

b. Tata ruang dalam dan ruang luar

Konsepsi bipolar lainnya yang sering diterapkan pada perwujudan bangunan suci Hindu adalah konsepsi dikotomik area luar dan area dalam. Konsepsi ini terwujudkan dalam tampilan fisik ruang bangunan suci, termasuk bangunan candi Jawa. 
Pada perwujudan bangunan mandir di India maupun berbagai bangunan suci yang terkena pengaruh kultur Hindu India, wujud penerapan konsepsi dikotomik tersebut dapat dijumpai dalam wujud keberadaan ruang suci kuil (garbhagrha) yang didesain tertutup dan terpisah dari dunia luar. 

Dalam tata tapak kompleks pura di Bali, konsepsi dikotomik tersebut terejawantahkan atas dua  tingkatan; makro dan mikro. Pada  tataran mikro, konsepsi area dalam yang sangat disucikan diwujudkan dalam sebentuk rong atau ruang suci yang terdapat pada daerah badan bangunannya. 

Adapun pada tataran makronya, yaitu kompleks pura, area dalam atau area utama yang paling disakralkan itu dikenal dengan sebutan area jeroan. Persamaan dari garbhagrha, garbha, rong, maupun utama mandala pura adalah berkaitan dengan nilai kesakralannya yang tinggi itu. Sifat ruangnya yang sangat sakral itu juga menjadi penyebab ruang-ruang suci ini dirancang sedemikian rupa sebagai suatu ruang utama atau sebuah ruang inti dari bangunan suci yang sengaja dipisah dan terbatasi dengan tegas dari ruang-ruang lain yang bernilai lebih profan di sekitarnya. Ruang utama bangunan suci ini dirancang pada area terdalam bangunan suci. 

Pola penataan seperti ini menyebabkan para umat seolah sengaja diarahkan untuk “wajib” melewati beberapa ruang lain yang bersifat transisi atau periferi dengan tingkat kesakralannya yang rendah, sebelum akhirnya mencapai ke ruang inti yang suci dan utama.

Apabila suatu bangunan suci tersebut disepadankan layaknya satu kuntum bunga padma yang sedang mekar merekah, maka setiap kupu-kupu yang hinggap padanya akan seolah ”diarahkan” terlebih dahulu harus membuka serta merayap melewati tiap helai kelopak teratai merah, sebelum pada akhirnya juga berhasil mencapai daerah sari utama bunga yang penuh madu itu.

c. Tangga dan penjaga pintu (dwarapala)

Tangga maupun elemen pintu gerbang pada bangunan suci sering kali kurang dicermati dan cenderung hanya dimaknai sebagai bagian dari jalur sirkulasi umat dalam bangunan suci itu. Kedua elemen ini sesungguhnya memiliki banyak peran dalam prosesi ritual umat dalam area bangunan suci itu. Apabila dicermati lebih dalam, tangga dan daun pintu bangunan suci sesungguhnya juga memuat berbagai simbolis bernilai lebih dari pada sekedar bagian dari dekorasi. 

Pada daerah tangga bangunan suci semacam candi di Jawa, lazimnya akan dijumpai adanya wujud railing tangga berbentuk sepasang ekor naga; sepasang binatang mitoligis makara; atau pun sepasang ekor gajah. Pada daerah depan pintu gerbang pun, lazimnya ditempatkan sepasang sosok dwarapala atau penjaga pintu. Kedua sosok penjaga ini dirupakan sedemikian rupa dalam berbagai mimik wajah, ada kalanya terkesan berwajah tenang, tersenyum, ada kalanya pula berwajah yang menyeringai menakutkan.

Konsepsi sepasang binatang pengapit tangga maupun sepasang tokoh penjaga pintu sangat berkaitan erat dengan konsepsi sisi kiri dan sisi kanan yang terilhami oleh keberadaan dua sisi tersebut pada tubuh manusia. 

Sisi kanan yang oleh dunia Timur dimaknai sebagai sisi “baik” yang protagonis pada railing tangga dan penjaga pintu kuil cenderung diwujudkan sebagai figur-figur yang bersifat maskulin, benevolent, atau berusia lebih tua. Tokoh-tokoh ini memiliki makna simbolis sebagai penuntun ke arah menaik, mendaki, atau menuju ke zona atas.
Adapun sisi kiri yang banyak diposisikan sebagai sisi “buruk” yang antagonis, pada railing tangga dan penjaga pintu kuil pada umumnya ditampilkan sebagai tokoh atau binatang yang bersifat feminin, terrible, atau berusia lebih muda. 
Tokoh-tokoh di sisi kiri ini dimaknai sebagai simbol ke arah menurun atau menuju ke zona bawah. Beberapa pasangan tokoh yang sering kali ditempatkan pada tangga dan pintu adalah (1) pasangan Nandiswara-Mahakala atau pasangan Gangga-Yamuna untuk kuil di India, (2) sepasang nio untuk kuil Buddha di Jepang, (3) sepasang erwang untuk kuil di Cina, dan (4) pasangan naga Taksaka dan istrinya, pasangan kakak-adik; Subali-Sugriwa, atau pasangan ayah-anak; Merdah-Tualen untuk pura di Bali.

d. Seni arca

Seni arca kuil Hindu sangat beragam jenis dan wujudnya. Berbagai karakter pahatan, bahan, maupun dimensi arca terwujudkan di berbagai belahan Asia. Apabila dicermati lebih mendalam, sesungguhnya seni arca kuil Hindu cukup banyak memuat konsepsi-konsepsi oposisi biner yang  berkenaan  dengan pasangan aspek maskulin  (dewa) dan feminin (dewi) dalam aspek benevolent (akroda/tenang) dan aspek terrible (kroda/murka). Para dewa utama pada umumnya digambarkan memiliki pasangan masing-masing sesuai tugasnya terhadap dunia selayaknya pasangan suami-istri atau ayah-ibu yang merawat  dan  mendidik  umat  manusia. Pasangan  tokoh  dewa-dewi yang digambarkan semacam ini antara lain: Brahma-Saraswati (pencipta-pengetahuan), Wisnu-Laksmi (pemelihara-kemakmuran), dan Siwa-Durga (pelebur-kematian). Pasangan dewa-dewi ini ada kalanya diarcakan secara secara berpasangan dalam satu kuil maupun satu bilik ruang suci. Dalam seni arca Hindu India juga dikenal istilah arca Ardhanareswari yang menggambarkan penyatuan tokoh Siwa (laki-laki) dan Parwati (perempuan) dalam satu arca.

Aspek lain yang terejawantahkan dalam seni arca kuil adalah berkenaan dengan konsepsi oposisi biner aspek benevolent-terrible dari tokoh-tokoh dewata tertentu. Tokoh-tokoh dewata tertentu yang  digambarkan memiliki dua sifat oposisi tersebut antara lain tokoh Siwa yang dapat digambarkan sebagai figur Mahadewa (benevolent) dan sebagai figur Mahakala atau Cakra-cakra (terrible), sedangkan tokoh Durga diwujudkan sebagai sosok Parwati (benevolent) dan sebagai sosok Kali atau Mahakali (terrible). Arca tokoh-tokoh dewata ini diwujudkan dalam berbagai mimik dan atribut sesuai tingkat kemurkaannya.

e. Ragam hias

Ragam  hias bangunan  kuil-kuil  Hindu  lebih banyak terilhami  oleh konsepsi  oposisi  biner alam atas-alam  bawah. Perwujudan  dan penempatan ragam hias pada suatu bagian kuil tersebut pada umumnya mengikuti simbolisasi tingkatan alam yang digambarkannya. 

Ragam hias pada bagian kaki bangunan pada umumnya diwujudkan bermotif hewan maupun hewan dalam bentuk yang paling kompleks. Ragam hias semacam ini menggambarkan tingkatan alam bawah yang disimbolkan sebagai bagian kaki kuil. 

Ragam hias di bagian puncak bangunan pada umumnya diwujudkan paling kecil, abstrak, dan sederhana dibandingkan dengan ragam hias di bagian badan dan kaki bangunan kuil. Ragam hias puncak bangunan kuil pada umumnya diwujudkan sebagai simbolisasi sorga atau sunyata sebagai puncak alam semesta yang suci, abstrak, dan sulit dicapai.

Konsepsi oposisi biner alam atas-alam bawah juga disebut-sebut terejawantahkan pada ornamen “menjalar” yang melintang atau membujur di dinding kuil. Ornamen semacam ini lazimnya dipahatkan menjalar dan memiliki dua buah titik klimaks yang bertolak belakang, yaitu titik atas dan titik bawah. Ornamen semacam ini banyak diinterpretasikan oleh para sarjana sebagai ornamen yang  memuat siklus menaik (ke alam atas) dan menurun (ke alam bawah) yang berlaku simultan dan kontinyu di jagat raya. Ornamen bermotif dasar “menjalar” (Bali: pepatran) ini juga dimaknai sebagai ornamen yang menggambarkan garis edar planet-planet mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya bumi

Aspek Sekala dan Niskala Candi

Pada bangunan candi juga mengenal elemen pripih yang pada dasarnya memuat makna sebagai benih kesucian pada bangunan suci ini. Pripih juga berperan menarik kekuatan suci Tuhan Yang Mahaesa yang abstrak (niskala) itu dari alam atas agar “berkenan” menjiwai bangunan candi yang berwujud riil (sekala) tersebut.

Dalam bangunan candi Jawa yang nyata (sekala) tersebut diyakini pula bersemayam berbagai kekuatan abstrak alam semesta yang bersifat tidak kasat mata (niskala). 

Eksistensi kekuatan niskala tersebut dipercaya dapat langgeng bersemayam pada bangunan candi berkat adanya ritual pemujaan yang teratur dan benar terhadap kesucioan bangunan candi yang bersangkutan. 

Selain dari pada itu, keberadaan elemen pripih yang ditanam pada bagian dasar bangunan candi diyakini juga ikut memberi dampak positif sebagai “penarik” agar segala energi positif di alam tersebut tetap berkenan bersemayam dan menjiwai bangunan candi yang bersangkutan.


Sumber :
I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D
Ir. Ida Bagus Gde Primayatna, MErg.
I Gusti Agung Bagus Suryada, ST, MT